Regulasi Haji Makin Ketat, Praktik Badal Haji Perlu Waspada: Ini Penjelasan Waketum AMPHURI
Jakarta – Ketatnya pengawasan otoritas Arab Saudi terhadap pelaksanaan ibadah haji menjadi sorotan serius, khususnya bagi Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK). Wakil Ketua Umum DPP AMPHURI, Bungsu Sumawijaya, menekankan bahwa praktik badal haji kini menghadapi tantangan besar secara hukum dan syariat, seiring regulasi baru dari pemerintah Saudi.
Foto oleh Jakman1 : https://pixabay.com/id/photos/al-abrar-mekkah-arab-saudi-rakyat-15075/
Badal Haji: Antara Niat Baik dan Risiko Serius
Badal haji, yaitu ibadah haji yang dilakukan atas nama orang lain karena alasan wafat atau ketidakmampuan fisik, selama ini sering dijalankan oleh muthawif atau pendamping PIHK di Arab Saudi. Namun, pola ini kini dinilai sangat berisiko.
“Banyak PIHK menerima titipan badal dari alumni jemaah, lalu menyerahkannya kepada tim lokal di Saudi. Ini praktik yang secara hukum kini sangat rawan,” ujar Bungsu.
Larangan Keras Berhaji bagi Muthawif Tanpa Tasreh
Regulasi baru Saudi secara tegas melarang muthawif atau petugas pendamping PIHK untuk melaksanakan haji jika tidak memiliki tasreh resmi, bahkan untuk badal sekalipun. Mereka hanya boleh melayani jemaah sebagai pendamping—bukan sebagai pelaksana ibadah.
“Yang nekat tetap berhaji tanpa izin resmi bisa langsung ditangkap, dideportasi, bahkan dilarang masuk Saudi hingga 10 tahun,” tegas Bungsu.
Pengawasan Makin Ketat: Arafah dan Mina Jadi Fokus
Tahun ini, pengawasan diperketat hingga ke tenda-tenda jemaah haji khusus di Arafah dan Mina. Aparat Saudi memeriksa identitas setiap orang secara detail—mulai dari status visa hingga peran mereka di rombongan.
Pendamping yang ketahuan memakai ihram atau menunjukkan tanda-tanda mengikuti ibadah bisa langsung diamankan.
Dua Jalur Legal Badal Haji
Menurut Bungsu, hanya dua kelompok yang sah secara hukum melaksanakan badal haji:
- Petugas PIHK dengan visa haji resmi dari Indonesia.
- Muthawif lokal yang membeli tasreh haji resmi dari otoritas Saudi.
Opsi kedua sah secara hukum, namun biayanya jauh lebih mahal. Oleh karena itu, PIHK harus menyampaikan informasi ini secara jujur kepada penitip badal haji untuk mencegah kesalahpahaman atau kecurigaan markup biaya.
Etika dan Amanah Badal Haji
Lebih dari sekadar jasa, badal haji adalah amanah suci. Bungsu menegaskan, PIHK justru menunjukkan integritas saat menolak titipan badal haji jika pelaksanaannya tak bisa dipastikan sah.
“Menolak bukan kelemahan, itu bentuk tanggung jawab. Apalagi dalam iklim pengawasan yang semakin ketat seperti saat ini,” ungkapnya.
Ia mengajak seluruh PIHK untuk menjadikan kondisi ini sebagai pengingat bersama, demi menjaga kualitas, keabsahan, dan marwah ibadah yang difasilitasi.
sumber : amphuri.org